page contents
 
Uum G. Karyanto 
 Mempersingkat Waktu

Dalam beberapa kesempatan, kita mungkin pernah mendengarkan kalimat "Untuk mempersingkat waktu, kita mulai acara ini" diucapkan oleh pembawa acara. Ungkapan "mempersingkat waktu" secara nalar tidak bisa diterima karena tidak masuk akal. Waktu tidak bisa dipersingkat atau disingkat. Satu menit tidak bisa disingkat menjadi kurang dari enam puluh detik. Satu jam akan selalu tetap enam puluh menit. Satu hari sampai kapan pun akan tetap 24 jam. Satu bulan selalu antara 28, 29, 30, atau 31 hari. Satu tahun tetap dihitung 365,25 hari. Satu dekade (dasawarsa) selalu sepuluh tahun. Satu abad selalu terdiri atas seratus tahun. Satu milenium dihitung sebagai seribu tahun.

Agar menjadi masuk akal, kalimat di atas dapat diubah menjadi "Untuk menghemat waktu, kita mulai acara ini" atau "Untuk memanfaatkan waktu, kita mulai acara ini".

Jika merasa sering terjebak dengan kata-kata "waktu" ini karena faktor kebiasaan sering tersebut kata "mempersingkat" sebelum kata "waktu", ada baiknya dihindari saja penggunaan kata "waktu". Jadi, bisa menggunakan kalimat "marilah kita mulai acara ini." Dalam konteks kalimat yang lain, seperti "Kepada Bapak, waktu dan tempat kami persilakan." dapat diganti dengan kalimat "Kepada Bapak dipersilakan." Penggunaan kata yang hemat, bukan?

 ‎'Menghemat waktu' atau 'memanfaatkan waktu' dalam lingkungan tertentu, misalnya pertemuan ilmiah, penggunaannya sudah mulai memasyarakat. Insya Allah akan semakin memasyarakat di lingkungan lainnya. 'Mempersingkat acara' konteks maknanya berbeda. Artinya, acaranya yang disingkat, mungkin dengan menghilangkan atau menyederhanakan satu atau dua acara.



 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Pemakaian tanda baca /!?/, /?!/, /!!!!!/, dan /????/ sering sekali kita temukan dalam tulisan, terutama dalam status di facebook ini. Tanda seru /!/ digunakan pada akhir kalimat perintah, larangan, permohonan, harapan, dan ajakan, misalnya "Berliburlah ke tempat nenekmu!" atau "Kerjakan segera, Harys!" Tanda tanya /?/ digunakan dalam kalimat interogatif, misalnya "Siapakah wanita berkerudung melati yang setiap hujan turun selalu berdiri di bawah jendela itu?" atau "Engkaukah itu, Rys, yang selalu mengganggu pikiranku lewat berpucuk-pucuk surat beraroma melati?" Jadi, jelaslah penggunaan dua tanda baca ini. Satu bernada perintah. Satunya lagi bernada tanya. Keduanya tidak bisa disatukan sebab berlainan jenis. Kemudian, hindari penggunaan tanda baca seperti /!!!!!/ dan /?????/. Mubazir. Cukup gunakan satu saja /!/ atau /?/.


Satu hal lagi kebiasaan pengarang cerpen yang sebaiknya dihindari, yaitu penggunaan tanda titik /............/ yang banyak sekali. Maksudnya apa? Jika ada kata di tengah-tengah kalimat yang dihilangkan, maka cukup gunakan tiga tanda titik /.../, misalnya, "Aku tak menyangka..., ah, sudahlah. Semua terserah dirimu." Jika ada kata-kata yang dihilangkan di akhir kalimat, maka gunakanlah empat tanda titik /..../, misalnya "Nenek tua yang selalu mengunyah sirih itu tak henti-henti bergaok-gaok, menceracau, dan misuh tak keruan. Air ludahnya berlari ke sana sini. Air ludahnya. Sirihnya ...."

 
Yadhi Rusmiadi Jashar
(Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan)

1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat kilat khusus memerlukan prangko.
Satu, dua, ... tiga!

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului dengan kata seperti tetapi, melainkan, sedangkan, dan kecuali.
Misalnya:
Saya akan membeli buku-buku puisi, tetapi kau yang memilihnya.
Ini bukan buku saya, melainkan buku ayah saya.
Dia senang membaca cerita pendek, sedangkan adiknya suka membaca puisi
Semua mahasiswa harus hadir, kecuali yang tinggal di luar kota.

3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau ada undangan, saya akan datang.
Karena tidak congkak, dia mempunyai banyak teman.
Agar memiliki wawasan yang luas, kita harus banyak membaca buku.
Catatan:
Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika
anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya akan datang kalau ada undangan.
Dia mempunyai banyak teman karena tidak congkak.
Kita harus membaca banyak buku agar memiliki wawasan yang luas.

4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun begitu.
Misalnya:
Anak itu rajin dan pandai. Oleh karena itu, dia memperoleh beasiswa belajar di luar
negeri.
Anak itu memang rajin membaca sejak kecil. Jadi, wajar kalau dia menjadi bintang
pelajar. Meskipun begitu, dia tidak pernah berlaku sombong kepada siapapun.
Catatan:
Ungkapan penghubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian,
sehubungan dengan itu, dan meskipun begitu, tidak dipakai pada awal paragraf.

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seru, seperti o, ya, wah, aduh,dan kasihan, atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, jalannya licin.
Mas, kapan pulang?
Mengapa kamu diam, Dik?
Kue ini enak, Bu.

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. (Lihat juga pemakaian tanda petik, Bab III, Huruf J dan K.)
Misalnya:
Kata Ibu, "Saya gembira sekali."
"Saya gembira sekali," kata Ibu, "karena lulus ujian."

7. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal?" tanya Pak Guru.
"Masuk ke kelas sekarang!" perintahnya.

8. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-bagian alamat, (c) tempat dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6, Jakarta
Surabaya, 10 Mei 1960
Tokyo, Jepang.

9. Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Gunawan, Ilham. 1984. Kamus Politik Internasional. Jakarta: Restu Agung.
Halim, Amran (Ed.) 1976. Politik Bahasa Nasional. Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa.
Junus, H. Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Alquran.
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

10. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki atau catatan akhir.
Misalnya:
Alisjahbana, S. Takdir, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka
Rakyat, 1950), hlm. 25.
Hilman, Hadikusuma, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia
(Bandung: Alumni, 1977), hlm. 12.
Poerwadarminta, W.J.S. Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Jogjakarta: UP
Indonesia, 1967), hlm. 4.

11. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.
Bambang Irawan, S.H.
Siti Aminah, S.E., M.M.
Catatan:
Bandingkan Siti Khadijah, M.A. dengan Siti Khadijah M.A. (Siti Khadijah Mas Agung).

12. Tanda koma dipakai di muka angka desimal atau di antara rupiah dan sen yang
dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
27,3 kg
Rp500,50
Rp750,00
Catatan:
Bandingkan dengan penggunaan tanda titik yang dimulai dengan angka desimal
atau di antara dolar dan sen.

13. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak
membatasi. (Lihat juga pemakaian tanda pisah, Bab III, Huruf F.)
Misalnya:
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang laki-laki yang makan sirih.
Semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Catatan:
Bandingkan dengan keterangan pewatas yang pemakaiannya tidak diapit dengan
tanda koma.
Misalnya:
Semua siswa yang lulus ujian akan mendapat ijazah.

14. Tanda koma dapat dipakai─untuk menghindari salah baca/salah pengertian─di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pengembangan bahasa, kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di
kawasan nusantara ini.
Atas perhatian Saudara, kami ucapan terima kasih.
Bandingkan dengan:
Kita dapat memanfaatkan bahasa-bahasa di kawasan nusantara ini dalam
pengembangan kosakata.
Kami ucapkan terima kasih atas perhatian Saudara.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

1. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ luluh jika mendapat walan meN- atau peN-.
Misalnya: 
menargetkan (bukan mentargetkan) menaati (bukan mentaati) 
memraktikkan (bukan mempraktikkan)
menyiasati (bukan mensiasati)
menyabot (bukan mensabot)
memarkir (bukan memparkir)
mengaitkan (bukan mengkaitkan)
menerjemahkan (bukan meterjemahkan)
menyitir (bukan mensitir)
memelopori (bukan mempelopori)
memuplikasikan (bukan mempublikasikan)
mengalkulasikan (bukan mengkalkulasikan)
meneror (bukan menteror)
menyejajarkan (bukan mensejajarkan)
menyinkronkan (bukan mensinkronkan)
mengambinghitamkan (bukan mengkambinghitamkan)
menyortir (bukan mensortir)
menyuplai (bukan mensuplai)
memopulerkan (bukan mempopulerkan)
memesona (bukan mempesona)
penyosialisasian (bukan pensosialisasian)

2. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ berupa gugus konsonan (cluster) tidak luluh jika mendapat awalan meN- atau peN-.
Misalnya:
mensponsori (bukan menyeponsori)
mengklasifikasikan (bukan mengelasifikasikan)
mentranskripsikan (bukan menerankripsikan)
penspesialisasian (bukan penyepesialisasian)
memprihatinkan (bukan memrihatinkan)
penstibtusian (bukan penyubstitusian)
mensterilkan (bukan menyeterilkan)
menstarter (bukan menyetarter)
mentransfer (bukan meneransfer)
menstandarkan (bukan menyetandarkan)

3. Kata berfonem awal /p/, /t/, /k/, dan /s/ tidak luluh jika kata tersebut masih terasa keasingannya.
Misalnya:
mengkooptasi (bukan mengooptasi)
 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh: Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca.

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan. Contoh: rumah makan, rumah sakit, kereta api, dan air mata.

Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung. Contoh idiom adalah membanting tulang, panjang tangan, dan tebal telinga.

Perbedaan frasa, kata majemuk, dan idiom; frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, kaki Nasir yang maknanya secara sintaktik atau gramatikal sesuai dengan kata 'kaki' dan 'Nasir'. Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki meja yang masih dapat ditelusuri dari makna 'kaki' dan 'meja'. Idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki tangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 'kaki' dan 'tangan'.

 
1. Ejaan van Ophuijsen

Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.

  1. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
  2. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  3. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.


2. Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.

  1. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.


3. Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.

1. Perubahan Huruf

Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan

dj djalan, djauh j jalan, jauh

j pajung, laju y payung, layu

nj njonja, bunji ny nyonya, bunyi

sj isjarat, masjarakat sy isyarat, masyarakat

tj tjukup, tjutji c cukup, cuci

ch tarich, achir kh tarikh, akhir

2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f maaf, fakir

v valuta, universitas

z zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai

a : b = p : q

Sinar-X

4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.

di- (awalan) di (kata depan)

ditulis di kampus

dibakar di rumah

dilempar di jalan

dipikirkan di sini

ketua ke kampus

kekasih ke luar negeri

kehendak ke atas

5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

  anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Sumber: Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2007. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar

A.  Pengantar

Dalam penggunaan bahasa, keefektifan selain dapat dicapai melalui pemilihan kata yang tepat, dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian kata yang mubazir. Kata mubazir yang dimaksud di sini adalah kata yang kehadirannya tidak terlalu diperlukan, sehingga jika dihilangkan, tidak mengganggu informasi yang disampaikan. Oleh sebab itu, dalam penggunaan bahasa sebaiknya kita berlaku hemat. Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), “Yang dimaksud dengan kehematan adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu”.

B.  Jenis Kata Mubazir

Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), jenis kata-kata mubazir sebagai berikut.  

1.      Pengulangan Subjek

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.

Contoh:

a. Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.

b. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.  

b. Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.

   

2.      Pemakaian Superordinat Pada Hiponim Kata

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponim kata.

Contoh:

a. Ia memakai baju warna merah.

b. Di mana engkau menangkap burung pipit itu?

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Ia memakai baju merah.

b. Di mana engkau menangkap pipit itu?

3.      Kesinoniman dalam Satu Kalimat

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.

Contoh:

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar supaya terhindar dari penyakit.

b. Bank Sumitomo adalah merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

c. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti misalnya Jakarta dan Surabaya.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit.

b. Kita perlu menjaga kesehatan supaya terhindar dari penyakit.

c. Bank Sumitomo merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

d. Bank Sumitomo adalah salah satu bank terbesar di Jepang.

e. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti Jakarta dan Surabaya.

f. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, misalnya Jakarta dan Surabaya.

   

4.      Penjamakan Kata-Kata yang Berbentuk Jamak

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.

Contoh:

a. Para hadirin dipersilakan memasuki ruangan.  

b. Para tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Hadirin dipersilakan memasuki ruangan.

b. Tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Pendapat Arifin dan Tasai tersebut sejalan dengan Chaer (2011: 37) yang mengemukakan bahwa “Ada kata-kata yang kalau dihilangkan tidak akan mengganggu makna atau arti kalimat tersebut”. Kata-kata yang dapat dihilangkan, antara lain:

1. Kata-kata hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau jam.

Contoh:

a. Seminar itu akan berlangsung hingga hari Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap bulan Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Seminar itu akan berlangsung hingga Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

2. Kata dari dan daripada yang tidak perlu.

Contoh:

a. Pidato dari Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi daripada DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Pidato Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

3. Tidak menggunakan kata penanda jamak (seperti semua, banyak, beberapa, sekalian, dan para) bersama-sama sekaligus dengan bentuk ulang yang menyatakan jamak.

Contoh:  

a. Banyak pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Sebagian barang-barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.  

a. Pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Banyak pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

c. Sebagian barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

4. Menghilangkan kata hipernim (superordinat) dari kata yang menjadi hiponimnya (superordinatnya).

Contoh:

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan kendaraan truk.

b. Di pasar ibu membeli ikan tongkol dan buah mangga.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan truk.

b. Di pasar ibu membeli tongkol dan mangga.

 
Uum G. Karyanto 

 Incumbent = Petahana

Kata 'incumbent' sebenarnya bisa saja diganti dengan istilah 'penjabat' atau 'pejabat'. Namun, kata 'pejabat' terlanjur digunakan dengan arti 'pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting'. Sementara itu, 'penjabat' memiliki arti 'pemegang jabatan sementara'. 

Salomo Simanungkalit dari Harian Kompas mengusulkan kata 'petahana' sebagai padanan kata 'incumbent'. Setelah saya lihat, di dalam KBBI terdapat kata 'tahana' yang berarti 'kedudukan, martabat (kebesaran, kemuliaan, dsb) dan kata 'bertahana' yang berarti 'bersemayam; duduk'. Jika kita berpedoman pada pola pembentukan kata bahasa Indonesia, kata 'petahana' dapat diterima. Coba kita lihat analogi sebagai berikut.
tinju -- bertinju -- petinju
tatar -- bertatar -- petatar
Maka:
tahana -- bertahana -- petahana.

Dari segi arti juga bisa diterima. Kata ini dapat kita artikan 'yang sedang memegang jabatan'. Contoh pemakaiannya: Sebagai petahana, Foke tidak boleh berkampanye pada pilgub DKI Jakarta sebelum mengambil dan diizinkan cuti.

Bagaimana kalau ramai-ramai (bersama Pak Salomo) kita usulkan agar kata 'petahana' dimasukan ke dalam KBBI edisi berikutnya sebagai pengganti kata 'incumbent'.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
Yadhi Rusmiadi Jashar 
 Contek dan Menyontek

Orang sering menganggap bahwa bentuk dasar dari kata "menyontek" adalah "contek". Kita lalu mengenal kata "contekan". Benarkah anggapan tersebut? Ternyata kita keliru. Bentuk dasar kata "menyontek" adalah "sontek". Menurut KBBI, sontek/menyontek memiliki arti 1) melanggar, menolak, menyerang, menggocoh; 2) mengutip (tulisan dsb.) sebagaimana aslinya, menjiplak. Sontekan memiliki arti hasil menjiplak. Proses morfologi yang benar adalah meN- + sontek --> menyontek (fonem /s/ luluh). Jika mau dipaksakan bentuk dasar "menyontek" adalah "contek", seharusnya bentuk yang benar bukan "menyontek" tetapi "mencontek" karena fonem /c/ tidak luluh atau lesap.