page contents
 
Mana yang benar dari kata berikut: "Terlanjur" atau "Telanjur"?

Yadhi Rusmiadi Jashar
Sebelum menyatakan bentuk turunan yang benar, ada baiknya kita tentukan dulu bentuk dasar dari kata "telanjur" dan "terlanjur". Kedua kata tersebut diasumsikan memiliki dua bentuk dasar yang berbeda, yaitu "lanjur" dan "anjur". Kedua kata tersebut ada dalam KBBI. Proses pembentukan kata turunannya adalah 1) awalan ter- + lanjur = terlanjur 2) awalam ter- + anjur = teranjur. Jadi, bentuk yang benar adalah "terlanjur" yang berarti melakukan perbuatan dengan tidak sengaja.

ada juga yang berpendapat bahwa yang benar "Telanjur". Karena kata tersebut independen (satu kesatuan yang tidak dipengaruhi oleh sisipan dls.). Sementara "Terlanjur", katanya tidak ada kata dasar "Lanjur". 

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Kata "lanjur" (KBBI, 2009: 563) berarti 1) terdorong (ke depan); 2) lanjut; ter.lanjur berati terdorong mengerjakan (mengucapkan) sesuatu dengan tidak sengaja. 
Kata "telanjur" juga ada dalam KBBI (2009: 1026). 
Bagaimana menyikapinya. Menurut saya, hal yang harus dilakukan adalah menyelidiki bentuk tersebut apakah bentuk turunan (artinya ada bentuk dasar) atau bentuk dasar yang berdiri sendiri. 
Pembahasan ini akan menarik jika kita persamakan kasusnya dengan kata "gigi" dan "geligi", "tapak" dan "telapak". Keempat kata tersebut ada dalam KBBI. 
Pertanyaannya, apakah kata "geligi" dan "telapak" merupakan bentuk dasar karena tercantum dalam KBBI sebagai satuan kata yang berdiri sendiri? 
Menurut saya, tidak. Kata "geligi" berasal dari kata gigi yang mendapat sisipan -el- sehingga menjadi kata turunan "geligi" yang berarti banyak gigi. 
Begitu juga kata "telapak" yang berasal dari kata dasar "tapak" + -el- sehingga menjadi kata "telapak". Begitu juga halnya dengan kata "terlanjur". 
Menurut saya, kata "terlanjur" terbentuk dari kata dasar "lanjur" yang mendapat awalan ter- sehingga membentuk kata turunan "terlanjur". 
Bagaimana dengan kata "telanjur"? Bagaimana mungkin dua kata yang berbeda memiliki makna yang sama? Mana yang benar? Jika kita konsisten dengan proses morfologi, saya cenderung membenarkan kata "terlanjur". 
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Berikut ini kata-kata yang sering salah dituliskan (kata-kata yang di dalam tanda kurung adalah kata baku).

senen (senin) taubat (tobat)
nasehat (nasihat)
rohaniawan (rohaniwan)
mantera (mantra)
putera (putra)
efektip (efektif)
efektifitas (efektivitas)
maghrib (magrib)
nopember (november)
adzan (azan)
nafas (napas)
faham (paham)
jaman (zaman)
musykil (muskil)
dzikir (zikir)
syah (sah)
maha guru (mahaguru)
meta tesis (metatesis)
pra jabatan (prajabatan)
sapta marga (saptamarga)
sub bab (subbab)
swa daya (swadaya)
tuna netra (tunanetra)
purna bakti (purnabakti)
nara sumber (narasumber)
non formal (nonformal)
majlis (mejelis)
managemen, menejemen (manajemen)
mupakat (mufakat)
nekad (nekat)
ramadhan (ramadan)
jum'at (jumat)
raport (rapor)
rejeki (rezeki)
rubuh (roboh)
shalat (salat)
trap (terap)
rubah (ubah)
obrak-abrik (ubrak-abrik)

o   

Ernita Dietjeria 

mahluk (makhluk)
coklat (cokelat)
hentak (entak)
hempas (empas)
henyak (enyak)
hapal (hafal)
seprei (seprai)
kantung (kantong)
lembab (lembap)
sembab (sembap)
jerembab (jerembap)
korma (kurma)
onta (unta)
kecoa (kecoak)
kangguru (kanguru)
cicak (cecak)
congklak (congkak)
hingar-bingar (ingar-bingar)

o   

Indah Novita Dewi 
congklak dan congkak kan dua kata yang punya arti beda? Congklak itu jenis permainan tradisional, congkak=sombong.

o   

Ernita Dietjeria 
Indah Novita Dewi, dalam KBBI, congkak memiliki 2 arti: (1) sombong, pongah, angkuh (2) permainan dengan kulit lokan dan kayu yg bentuknya spt perahu yg berlubang-lubang (di Jawa disebut dakon)

o   

Uum G. Karyanto 
Komentar Mbak Ernita Dietjeria yang terakhir betul. Adapun, kata 'congklak' di dalam KBBI dirujuk silang ke kata 'congkak'. Artinya, kata 'congklak' tidak dianjurkan penggunaannya.

o   

Indah Novita Dewi 
coba dalam kalimat: 1. Anak yang congkak itu suka bermain congkak, 2. Anak yang congkak itu suka bermain congklak. Jadi kalimat no.1 lebih tepat?

o   

Uum G. Karyanto 
Ya, Mbak Indah Novita Dewi, walaupun terdengar janggal, berdasarkan KBBI kalimat (1) yang tepat. Ada kemungkinan, 'congkak' dan 'congklak' yang merujuk ke 'sejenis permainan' merupakan dua bentuk bersaing. Tetapi, sejauh ini kita hanya bisa berpedoman kepada KBBI yang menyarankan kata 'congkak'. Dengan kata lain, kata 'congkak' secara semantis berhomonim.
o   

Uum G. Karyanto 
Tambahan: (1) Kata 'november' dalam penggunaannya dituliskan 'November' (n kapital) karena merujuk kepada nama bulan dalam tahun Masehi. (2) Bentuk 'saptamarga' penulisannya digabung karena 'sapta-' pada bentuk itu merupakan prefiks (awalan), diserap dari bahasa Sansekerta. (3) Selain kata 'terap', dalam KBBI juga terdapat kata 'trap' yang berarti 'usaha untuk menjebak lawan' atau 'jebakan'.

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Penjelasan Mas Uum (1) dan (3) benar. Untuk nomor (2) Kata baku di kiriman sudah benar. Penjelasan Mas Uum menambahi keterangan mengenai kebakuan saptamarga. Terima kasih.
o   

Ibnu Rasyid 
Banyak kesalahan penulisan awalan dari bahasa asing dipisahkan dengan kata yang mengikutinya. Itu sering terjadi. Mis.: swa,sapta,panca,intra,dll. Semestinya disambungkan.


 
Mbak Sowiyah
Assalamu'alaikum.....

Numpang golet ngelmu: Penulisan kata 'doa' yang benar itu doa (tanpa koma atas) atau do'a (menggunakan koma atas sebelum A) ya....????
o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Berdasarkan PUEYD yang benar adalah doa (bukan do'a) dan jumat (bukan jum'at).

Mbak Sowiyah 

Penulisan 'terimakasih' harusnya digandeng atau dipisah...??

Kadang saya bingung dengan kalimat ini. Terima apakah sama dengan Menerima...??

Terus 'kasih' dalam kata 'terimakasih' itu kasih dalam artian 'dikasih/diberi' atau gimana...?? 

Gimana juga dengan kekasih, terkasih, kasihan, dan mengasihi....??

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Yang dimaksudkan Mbak Sowiyah lazim disebut dengan gabungan kata atau kata majemuk. Kata majemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk makna tersendiri. Penulisan kata majemuk "terima kasih" harus dipisah. Contoh kata majemuk yang lain adalah "orang tua", "kambing hitam", "rumah sakit", dan "mata pelajaran". Kalau kita perhatikan contoh kata majemuk tersebut, kita tidak bisa mengartikannya berdasarkan kata-kata yang membentuknya tetapi harus dimaknai dalam satu kesatuan gabungan kata. Kata "rumah sakit" tidak dapat diartikan berdasarkan kata-kata yang membentuknya menjadi "bangunan yang tidak sehat". Kata "rumah sakit" harus diartikan sebagai satu kesatuan makna menjadi "balai tempat orang berobat".

o   

Yadi Alfateh 
sedikit berkomentar
kata " jumat " atau " doa " itu tidak sama bung
dalam ilmu tajwid dan nahwu sorrofnya
alais tatanan bahasa arob yang di bakukan kata " jumat " harus ada titik koma atasnya " jum'at " kalau doa memang penulisan arabnya " doa " tapi kalau jum'at memang harus ada tanda koma atasnya , seperti " min yaumil jum'ah fasau ila dzikrillahi wadarul bai'k "

terimakasih

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Yadi Alfateh: Dalam Pedoman umum Pembentukan Istilah Edisi ketiga dijelaskan kaidah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku bagi unsur serapan sebagai berikut. 
1. 'a (ain Arab) menjadi a
Misalnya:
'Asr menjadi asar
sa'ah menjadi saat
manfa'ah menjadi manfaat
do'a menjadi doa
jum'at menjadi jumat

2. ' (ain Arab) di akhir suku kata menjadi k
Misalnya:
ra'yah menjadi rakyat
ma'na menjadi makna
ruku' menjadi rukuk

o   

Yadi Alfateh 
bilamana asal kata fi'il madinya berbentuk isim jamak biasanya ain fi'il dari kata juma'ah hilang ketika di tasrif slam lugawi mujarradun...begitulah hukum hakikatnya

dalam kitab " alfiyah " dikatakan 
ain yangterdapat pada kata jum'at bilugawi waistilahan itu tetap pada hakikat tanda titik dan terjadi pergeseran lugah yang terbaca mementalkan bibir dan lidah

jumat menjadi jum'at

terimaskasih

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Penjelasan Saudara Yadi Alfateh sangat betul jika kita mengambil rujukan dan tengah membincangkan gramatika Arab. Tentu nahwu sorrof, Izhar, idghom, mad tasydid, muqathaah, waqaf, dll haruslah menjadi perhatian. Akan tetapi kita ini tengah membahas kaidah penyerapan unsur asing ke dalam bahasa Indonesia. Tentu dalam hal ini kita mesti tunduk dengan kaidah yang mengaturnya. Dalam hal ini Pedoman Pembentukan Istilah, EyD, dan KBBI yang merupakan kesepakatan ahli berbagai disiplin ilmu, termasuk juga ahli bahasa Arab, Dr. Satria Effendy M Zein, yang terlibat aktif dalam penyusunan KBBI. Selain itu, dalam tata bahasa Indonesia, kita tidak mengenal huruf 'a sebagai ganti 'ain (Arab). Jika Saudara Yadi Alfateh mencari arti kata jum'at di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Insyaallah tidak akan ditemukan kata tersebut kecuali kata jumat.

o   

Yadi Alfateh 
sangat jelas bila anda mengatakan seperti itu...jelas tidak ditemukan..namun dlam judul puisi saya yang berjudul " do'a hujan do'a " bagaimna pendapat anda...dan " talqin malam jum'at " begitu slahkah..atau memang kebebasan bahsa saya yang terlanjur liar mempekosa kaidah itu sendiri...entahlah yag psti katakata memang terkadang lebih bebas dripda anjing di koridor dunia

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Yadi Alfateh: Sesuai dengan pengetahuan yang saya kuasai sampai detik ini, jelas berdasarkan kaidah bahasa Indonesia penulisan yang demikian menyalahi prinsip penulisan unsur serapan asing. Jika Saudara menganggap itu sebagai licentia poetica, kebebasan bahasa, ada baiknya Saudara Yadi membaca esai Eko Endarmoko, seorang yang sangat paham mengenai ini yang pernah dimuat di majalah Tempo. Judulnya esainya "Genit". Genit

Oleh: Eko Endarmoko. Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, bergiat di Komunitas Salihara.

MEMILIH kata di dalam berbahasa pada prakteknya sering tidak mudah. Akan selalu terasakan sebuah kata kurang persis mewakili sesuatu maksud. Namun juga, akan selalu ada godaan bergenit-genit, memamerkan berbagai model gaya. Ini paling gampang kita lihat di dalam penggunaan kata. Ada penulis yang gampang tergoda lebih mengutamakan efek—entah kemerduan bunyi, entah kesan intelektual, atau entah cuma ingin beda sendiri—daripada keperluan menyampaikan pengertian yang terang, dan ini biasanya diusahakan antara lain lewat pemakaian kata-kata yang pelik—mungkin bentuk arkais, mungkin dicomot dari bahasa asing, atau mungkin pula yang terkesan dibuat-buat, seperti: ”dicermatmaknai”, ”berjumpa-kenal”.

Mementingkan efek ketimbang keperluan menyampaikan pengertian yang terang itu dilakukan mungkin demi memikat pembaca, satu hal yang, jika dikerjakan tidak dengan hati-hati, dapat mengakibatkan pesan menjadi kabur. Sebaliknya, apabila seorang penulis mampu menggarap dengan tepat dan tekun terus-menerus, ini boleh jadi justru dapat melahirkan idiosinkrasi, gaya dia seorang. Tapi bayangkan ada seorang penyair yang berkilah bahwa ia, secara sadar dan sengaja, sedang bereksperimen mendobrak kaidah tata bahasa dalam puisi-puisinya. Padahal, ada bagian yang memperlihatkan bahwa ia tidak memahami benar perbedaan cara menuliskan ”keluar” dan ”ke luar”.

Entah apa gerangan yang mendorong para penulis bergenit-genit, tapi tidak ia mengerti kaidah bahasa yang mendasar seperti itu, atau sekurang-kurangnya menampakkan sikap abai.

Itukah yang disebut licentia poetica? Boleh jadi soal ini tidak asing lagi, atau jangan-jangan malah sudah cukup sering ”mengganggu”, dalam dunia tulis-menulis. Konsep penting demi kreativitas dalam dunia tulis-menulis yang diperkenalkan filsuf Romawi kelahiran Kordoba, Lucius Annaeus Seneca ini di negeri kita beberapa waktu belakangan tampaknya malah menjadi tempat banyak penulis bersembunyi dan mencari suaka. Mungkin inilah salah satu pokok soal yang paling membuat pening kalangan penyunting. Konsep tersebut seolah telah menjelma hukum yang tampaknya cenderung lebih memihak dan memanjakan penulis.

Licentia poetica adalah semacam lisensi, izin, tak tertulis yang dikantongi penyair untuk menyimpangi kaidah bahasa demi mencapai efek tertentu yang dia inginkan. Kemudian, entah bagaimana keleluasaan ini seolah-olah dianggap menjadi milik sastrawan pada umumnya, bukan hanya yang menulis puisi. Inilah kuasa sastrawan menabrak rambu-rambu bahasa demi pengungkapan nilai-nilai artistik yang, dengan demikian, dipandang lebih penting dari aturan bahasa. Apakah ”efek” atau ”nilai-nilai artistik” ini kalau bukan sebuah kualitas atau sifat, sebentuk kesan, yang terasakan oleh pembaca? Maka yang jadi soal sebenarnya bukan ”bagaimana membuat”, tapi ”bagaimana menyampaikan” efek, nilai artistik, atau kesan itu kepada pembaca. Maka laku melanggar bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana belaka. Jalan berpikir ini mengantarkan kepada kita kesimpulan bahwa kebebasan dalam licentia poetica bukan terutama dimaksudkan untuk membuat (baca: mencari-cari) efek alias bergenit-genit, melainkan lebih menyerupai alat bantu bagi penulis guna menerabas kebuntuan—dalam keadaan darurat.

Lisensi ini sebetulnya bekerja dengan sejumlah asumsi: pertama, mereka yang melaksanakannya sungguh-sungguh terdorong oleh keperluan menyatakan satu hal, tapi ia merasa terhambat oleh daya ungkap bahasa. Ini mengisyaratkan bahwa penyimpangan kebahasaan olehnya tadi adalah, katakanlah, suatu tindakan darurat, setelah ia habis-habisan menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Dan ini mengantarkan asumsi kedua, bahwa mereka yang mempraktekkannya tahu, sadar akan apa yang ia langgar. Artinya, sebenarnyalah si pelanggar mafhum akan hukum atau kaidah bahasa yang berlaku.

Pertanyaannya kemudian, bisakah seseorang melanggar aturan bahasa, demi licentia poetica, padahal, seperti sudah disinggung di atas, ia tidak tahu perbedaan cara menuliskan ”ke luar” dan ”keluar” dalam kalimat? Tidak tahu perbedaan kata depan dan awalan? Tidak tahu kaidah bahasa Indonesia yang sangat mendasar, elementer, dan mungkin sekali itu sebabnya ia bersembunyi di sana, di balik ”mantra” licentia poetica?

Melanggar aturan bahasa demi licentia poetica adalah satu hal, sedangkan buta kaidah bahasa Indonesia adalah hal lain. Dua soal itu saya kira tidak dapat diperbaurkan. Bagi saya, kepatuhan pada kaidah dalam berbahasa menunjukkan bukan sebuah sikap taat, tunduk, melainkan wujud sebentuk rasa hormat kepada, dan rasa bangga terhadap, norma, yaitu norma-norma bahasa Indonesia, yang memang sudah sepatutnya kita junjung bersama.

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Jika kita membaca karya-karya Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, sulit kita menemukan kesalahan elementer semacam "do'a" dan "jum'at" dalam karya-karya mereka. Mereka sangat menghargai bahasa Indonesia dan seperangkat aturan yang mengikatnya. Pengalaman saya mengeditori beberapa buku pun sangat jarang menemukan kesalahan elementer seperti ini. Yang banyak saya temukan adalah ambiguitas kalimat.

 
Ani Gorrell 

 Mohon penjelasan. Dulu, kata 'secara' digunakan sebagai 'adverb of manner', misalnya secara hukum, secara logis dst. Tapi sekarang, terutama dalam bahasa percakapan, saya menjumpai pemakaian kata 'secara' yang berarti 'karena' dan entah apa lagi. Saya merasa 'risih' setiap mendengar penggunaan 'secara' yang melenceng dari arti aslinya. Apakah arti (arti-arti) yang baru ini sudah atau akan dibakukan? Apakah melalui proses ini, suatu hari kata 'secara' akan diterima publik sebagai kata yang memiliki banyak arti? 
o   

Uum G. Karyanto 

Saya juga sering menemukan pemakaian kata 'secara' seperti yang dikemukakan Mbak Ani Gorrell. Misalnya, "Secara Elin tidak pernah mau mendengar saran orang lain". Jika kita cermati, pemakaian 'secara' pada kalimat ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kualitas tertentu dari Elin. Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia kata 'secara' dikategorikan sebagai preposisi (kata depan). Makna yang disandang kata itu (KBBI) adalah (1) sebagai, selaku: hendaklah kamu bertindak secara laki-laki; (2) menurut (tt adat,kebiasaan, dsb): perkawinan akan dilaksanakan secara adat keraton; (3) dengan cara, dengan jalan: perselisihan itu akan diselesaikan secara damai; (4) dengan: hal itu diuraikan secara ringkas,serangan itu dilakukan secara besar-besaran. Dari empat makna ini tidak satu pun yang serasi jika digunakan sebagaimana kalimat contoh di atas. Dengan demikian, pemakaian kata 'secara' dalam kalimat semacam itu tidak bisa diterima, apalagi dibakukan. Apakah penggunaan kata 'secara' semacam itu suatu saat akan dibakukan? Saya tidak tahu karena bahasa bersifat dinamis. Akan tetapi, kaidah tata bahasa juga mempunyai kemampuan untuk membatasi pemakaian bahasa yang tidak teratur, terutama dalam ragam bahasa resmi. Gejala seperti yang terlihat dalam kalimat contoh di atas menandai adanya kreativitas penggunaan bahasa dalam ragam tidak resmi. Secara populer, orang mengatakannya "bahasa gaul". Tetapi, sebagai orang yang taat asas, kita tidak akan menggunakannya dalam bahasa resmi. Demikian kira-kira, Mbak Ani. Semoga rasa 'risih'-nya berubah menjadi 'maklum'. Salam buat orang-orang tercinta di Ottawa, Kanada.

 
Uum G. Karyanto 

 Pengusaha Wanita

Jika Anda seorang wanita dan pada suatu waktu ditanya oleh seseorang, "Maukah Anda menjadi pengusaha wanita?" saya sarankan Anda menjawab, "Tidak!" Mengapa? Frasa 'pengusaha wanita' berarti 'pengusaha yang mengusahakan wanita'. Negatif sekali 'kan maknanya. Yang tepat adalah 'wanita pengusaha' yang berarti 'wanita yang berprofesi sebagai pengusaha'. 
o   
Uum G. Karyanto ‎
"wanita karier' dan 'karier wanita' secara semantis tidak berkonotasi negatif. "Wanita karier" dapat diartikan sebagai 'wanita yang berkecimpung dl kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dsb). "Karier wanita" dapat diartikan sebagai 'karier yg dimiliki oleh wanita'. Jadi, dua-duanya bisa digunakan. Berbeda dengan "pengusaha wanita" yang jelas berkonotasi negatif.
o   
Frasa dalam bahasa Indonesia pada umumnya berpola DM meskipun ada beberapa di antaranya yang berpola MD seperti 'perdana menteri'.

Uum G. Karyanto 
Adinda Meliyana El Aufa, keduanya bisa digunakan kok, aman dari konotasi negatif, dengan catatan artinya tentu saja berbeda. "Pekerja wanita" dapat diartikan sbg 'pekerja yang berjenis kelamin wanita/perempuan'. "Wanita pekerja" dapat diartikan sbg 'wanita yang bersifat ulet atau tangguh dalam bekerja'.

o   

Uum G. Karyanto 
Frasa 'pengusaha pria' sepertinya tidak lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia. Tetapi, kalau mau "dipaksakan" ada, kira-kira maknanya sejajar dengan 'pengusaha wanita'. 

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Kata yang juga salah kaprah dalam penggunaannya adalah "polwan" kata yang tepat harusnya "wanpol".

o   

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Ayunda Fitri; Polisi wanita memiliki arti polisi yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan wanita dan bisa saja polisinya berkelamin laki-laki yag ditugasi mengurusi wanita. Jika yang dimaksud adalah wanita yang bertugas sebagai polisi, maka yang benar seharusnya "wanita polisi". Memang terdengar "aneh". Itu wajar, karena kita sudah terbiasa menggunakan yang salah.

 
Lena Munzar 

Penyerapan kosa kata asing ke dalam bahasa indonesia, ada yang di serap utuh dan tidak utuh. Bagaimana status kosa kata tersebut, apakah termasuk kedalam kosa kata baku bahasa indonesia dan masuk dalam KBBI? Atau masih dalam kamus bahasa asing?
Contoh kosa kata: mall, plaza, shoping.. Dll

o   

Uum G. Karyanto 
Ada empat cara atau teknik penyerapan kata dari bahasa asing: (1) adopsi, (2) adaptasi, (3) penerjemahan, dan (4) kreasi. Cara adopsi mengambil apa adanya dari bahasa sumber, baik lafal maupun ejaannya. Contoh: incumbent, status quo, hole in one. Cara adaptasi menyerap kata dengan penyesuaian ejaan sesuai ejaan bahasa Indonesia. Contoh: communication (Inggris) => komunikasi, cadeu => kado, Ramadhan => Ramadan. Cara penerjemahan mengambil konsep yang terkandung di dalam sebuah kata asing lalu mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: scanning (Inggris) => pindaian, post graduate (Inggris) => pascasarjana, haute couture (Perancis) => adibusana, track record (Inggris) => rekam jejak. Cara kreasi sejenis dengan cara penerjemahan, tetapi bersifat lebih bebas tanpa mengubah konsep yang terkandung di dalam kata dalam bahasa sumber. Contoh: shuttle (Inggris) => ulang-alik, rijsttafel (Belanda) => santapan nasi, dark bluish green (Inggris) => indranila. Catatan: incumbent sedang diupayakan (termasuk oleh kita yang tergabung di grup ini) untuk diterjemahkan menjadi 'petahana'. 

o   

Uum G. Karyanto 
Kata-kata yang diserap dengan cara adaptasi, penerjemahan, dan kreasi masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia. Kata yang diserap dengan cara adopsi tetap diperlakukan sebagai kata dari bahasa asing. Konsekuensinya, kata tersebut ketika digunakan di dalam teks tertulis bahasa Indonesia harus ditulis dengan huruf miring.

o   

Uum G. Karyanto 
Kata 'mall' telah diserap dengan cara adaptasi menjadi 'mal'; 'plaza' tetap 'plaza'; shopping 'kan sudah ada padanannya: 'berbelanja'. Kata 'plaza' dapat dikatakan unik karena baik dengan cara adaptasi maupun adopsi hasilnya tetap sama, yaitu 'plaza'. Hal ini mungkin sekali karena terdapat kesamaan sistem ejaan (ortografi) untuk bunyi-bunyi yang terdapat pada kata itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

o   

Efin Gustrizali 
Kalau boleh menambahakan. pengambilan anasir asing baik dalam bentuk kata atau istilah ke dalam bahasa Indonesia juga harus sesuai dengan beberapa hal,antara lain:
1. Kata atau istilah asing yang akan diambil dan digunakan adalah kata atau istilah yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
2. Kata atau istilah asing yang akan diambil dan digunakan dirasakan lebih ringkas penggunaannya dibandingkan kata asalnya dalam bahasa Indonesia.


 
Yadhi Rusmiadi Jashar

MENULIS PANTUN YANG BAIK DAN BENAR

Perhatikan cuplikan pantun berikut ini!
Berburu ke padang datar.
Dapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar.
Bagai bunga kembang tak jadi.

Ada beberapa kesalahan penggunaan EyD dan tanda baca dalam penulisan pantun tersebut!
Mari kita diskusikan!


Jasuma Jsm 
Berburu ke padang datar
dapat rusa berbelang kaki.
Berguru kepalang ajar
bagaikan bunga kembang tak jadi.

o   

Robhun Spd 
Apakah salah (berdasarkan syarat-syarat pantun) kalau pantun di atas kita ubah menjadi seperti berikut ini?
1. Berburu ke padang datar
menangkap rusa berbelang kaki.
Berguru kepalang ajar
bagaikan kuncup kembang tak jadi
2. Berburu ke padang datar
menangkap rusa berbelang kaki.
Berguru kepalang ajar
bagaikan kembang melati kembang tak jadi.
3. Berburu ke padang datar
dapat rusa berbelang kaki.
Berguru kepalang ajar
bagaikan melati kembang tak jadi

o   

Ady Azzumar 
Berburu ke Padang datar.
Dapat Rusa belang kaki.
Berguru kepalang ajar.
Bagai bunga kembang tak jadi.

Nurmansyah Putra 
pantun/puisi punya licencia poetica, tpi kl mau dianalisis "struktur" bahasanya blh saja

Yadhi Rusmiadi Jashar 
Karya sastra, baik sastra lama maupun sastra baru juga mempunyai kebebasan yang sering disebut dengan licencia poetika. Akan tetapi, meskipun demikian, kaidah berbahasa yang baik dan benar, sepatutnya diperhatikan. Jika diperhatikan struktur sintaktisnya, pantun terdiri dari dua kalimat. Kalimat pertama berupa sampiran dan kalimat kedua berupa isi. Masing-masing kalimat terdiri dari dua klausa. Klausa pertama ada pada baris (1) dan klausa kedua ada pada baris (2). Pada isi pantun juga demikian, klausa pertama, yaitu baris (3) dan klausa kedua, yaitu baris (4) Artinya, kesalahan pada pantun di atas terdapat pada penggunaan tanda baca dan huruf kapital. Mengacu pada penjelasan ini, seharusnya baris pertama diakhiri dengan tanda koma karena baris pertama ini berupa klausa yang berkaitan dengan baris kedua. Baris kedua (kelanjutan klausa pertama) seharusnya diawali dengan huruf kecil dan diakhiri tanda titik. Cara yang sama juga berlaku pada baris ketiga dan keempat (isi pantun). Jadi perbaikan atas kesalahan tanda baca dan EyD pada pantun tersebut sebagai berikut.

(1) Berburu ke padang datar,
(2) dapat rusa belang kaki.
(3) Berguru kepalang ajar,
(4) bagai bunga kembang tak jadi.

o   

Uum G. Karyanto 
Pola dasar rima (sajak) dalam pantun memang a-b-a-b, tetapi itu memiliki variasi yang secara tradisi dapat diterima, termasuk a-a-a-a. Jadi, yang dikemukakan oleh Pak Asih Hakim tetap dapat dikategorikan pantun. Bedanya, syair tidak memiliki sampiran. Semua lariknya isi. Salam hangat, Pak Asih Hakim.

 
Uum G. Karyanto 

 Lukisan Afandi dan Penembakan Seorang Preman

Jika kita cermati, frasa 'lukisan Afandi' di atas memiliki makna yang kurang lugas. Mengapa? Frasa tersebut bermakna ganda atau memiliki lebih dari satu arti. Kita jadi bertanya, "Apakah maksud frasa tersebut (1) lukisan yang dibuat oleh Afandi, (2) lukisan yang dimiliki oleh Afandi, atau (3) lukisan yang menggambarkan Afandi?"

Agar arti frasa itu menjadi lugas dan terhindar dari penafsiran ganda, kita dapat mengubahnya menjadi 'lukisan karya Afandi' jika yang dimaksud adalah 'lukisan yang dibuat oleh Afandi'; 'lukisan milik Afandi' jika yang dimaksud adalah 'lukisan yang dimiliki oleh Afandi'; 'lukisan tentang Afandi' jika yang dimaksud adalah 'lukisan yang menggambarkan Afandi'.
Demikian pula halnya dengan kalimat "Penembakan seorang preman di Lenteng Agung telah terungkap". Frasa 'penembakan seorang preman' mengandung makna ganda. Kita jadi bertanya, "Apakah preman dalam frasa itu 'pelaku penembakan' ataukah 'korban penembakan'?"

Agar kalimat di atas terhindar dari kandungan frasa bermakna ganda, kita dapat mengubahnya menjadi (1) "Penembakan oleh seorang preman di Lenteng Agung telah terungkap"; atau (2) "Penembakan terhadap seorang preman di Lenteng Agung telah terungkap". Kalimat (1) menjadi jelas bahwa preman dalam kalimat tersebut adalah 'pelaku penembakan'. Kalimat (2) menjadi jelas bahwa preman dalam kalimat tersebut adalah 'korban penembakan'.
 
·         Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
Uum G. Karyanto 

mengonsumsi, bukan mengkonsumsi;
memesona, bukan mempesona;
menaati, bukan mentaati; menyukseskan, bukan mensukseskan.

Akan tetapi:

mengkritik, bukan mengeritik;
memproduksi, bukan memeroduksi;
mentransfer, bukan menransfer;
mensyukuri, bukan menyukuri. 
o   

Tiara Adelina 
Nah, itu namanya tidak konsisten pembakuan bahasa Indonesia. Contohnya bang: kue seharusnya dibaca dgn k-u-e, knyataannya kita membaca dgn k-u-w-e, katanya ad fungsi keindahan. Ada lagi bang, kalo dilihat sekilas beda meniduri dan menidurkan apa ya? :D

Uum G. Karyanto ‎
Tiara Adelina, tidak perlu risau. Masalah seperti itu juga terjadi hampir pada semua bahasa di dunia. Pada tataran fonologi, kata 'kue' memang dilafalkan /kuwe/ atau /kuweh/. Bunyi /w/ muncul sebagai bunyi luncur. Sama seperti munculnya bunyi /b/ di antara /m/ dan /l/ pada kata 'jumlah'.

o   

Uum G. Karyanto 
Tiara Adelina, dl KBBI meniduri diartikan sbg 1. tidur di; berbaring di, 2. (kias) bersetubuh dengan ..., sedangkan menidurkan: 1. membawa tidur, membaringkan (meninabobokan dsb) supaya tidur; 2. merebahkan. Jadi, Dewi Ratna Sari, tidak ada masalah kok dengan pertanyaan Tiara.



Faulina Handayani 
Sekadar tambahan info. Kata dasar Чǝлб berawalan k, p, t, s, bila bertemu dg imbuhan me- akan luluh, kecuali: 1) kata dasar itu merupakan konsonan rangkap (kr-kritik, kl-klasifikasi, dll); 2) kata dasar tersebut belum diserap dalam bhs ind (masih murni bahasa asing). Namun ada pengecualian untuk beberapa kata, misalnya kata kaji- tetap mengkaji karena maknanya berubah apabila мєηĵαđι mengaji.

o   

Uum G. Karyanto 
Terima kasih, Ayunda Faulina Handayani, atas tambahan infonya. Gejala yang dideskripsikan Ayunda dalam ilmu bahasa disebut proses nasalisasi, dan proses itu tidak terjadi pada kata dasar yang diawali digraf seperti yang dicontohkan Ayunda dan yang saya contohkan di atas. Contoh lain: meN- + stimulasi => menstimulasi, bukan menyetimulasi*. [Ket: meN = me-nasal; * = tanda fonetis untuk bentuk tidak berterima.] Ada gejala lain yang juga perlu dicermati, yaitu pengecualian pada kata-kata tertentu yang mengharuskan proses nasalisasi tidak terjadi dengan pertimbangan keserasian fonologis, misalnya meN + punya + i. Bunyi /p/ pada bentuk itu tidak luluh menjadi /m/ => memunyai*, tetapi tetap mempunyai karena secara fonologis tidak serasi.