page contents
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Kata depan [dari] ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti [daripada].

Kata depan [dari] digunakan dengan aturan sebagai berikut. 1. Untuk menyatakan “asal tempat” digunakan di muka kata benda yang menyatakan tempat.
Misalnya:
Mereka baru datang dari desa.
Ayah belum pulang dari kantor.
Ibunya berasal dari Baturaja.
2. Untuk menyatakan “asal bahan” digunakan di muka kata benda yang menyatakan bahan.
Misalnya:
Kue ini terbuat dari terigu.
Lantainya dari batu pualam
3. Untuk menyatakan “asal waktu” atau “sejak” digunakan di muka kata benda yang menyatakan waktu.
Misalnya:
Saya menunggu dari tadi pagi.
Dari dulu daerah ini sudah ramai.
4. Untuk menyatakan “asal hal atau keadaan” digunakan di muka kata yang menyatakan hal atau keadaan.
Misalnya:
Akhirnya kami terlepas dari segala kesulitan itu.
Dia baru saja sadar dari pingsannya.
5. Untuk menyatakan “asal pelaku” digunakan di muka kata benda yang menyatakan orang atau pelaku.
Misalnya:
Sepatu itu adalah hadian dari nenek.
Bantuan itu datang dari pemerintah.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, kaidah penulisan tanda titik (.) pada singkatan dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti tanda titik di belakang tiap-tiap singkatan itu.
Misalnya: A.H. Nasution
H. Hamid
W.R. Supratman
M.Hum
M.Si.
Bpk.
Sdr.
Kol.

2. Singkatan kata yang berupa gabungan huruf diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
jml.
kpd.
tgl.
hlm.
No.

3. Singkatan gabungan kata yang terdiri atas tiga huruf diakhiri dengan tanda titik.
Misalnya:
dll.
dsb.
dst.
sda.
ybs.
yth.

4. Singkatan gabungan kata yang terdiri atas dua huruf (lzim digunakan dalam surat-menyurat) masing-masing diikuti oleh tanda titik.
Misalnya:
a.n.
d.a.
u.b.
u.p.

5. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
cm
kg
Rp
TNT
Cu

6. Singkatan nama resmi lembaga pemrintahan dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, erta nama dokumen resmi yang terdiri atas gabungan huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
DPR
PBB
WHO
PT
KTP
 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh: Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca.

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan. Contoh: rumah makan, rumah sakit, kereta api, dan air mata.

Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung. Contoh idiom adalah membanting tulang, panjang tangan, dan tebal telinga.

Perbedaan frasa, kata majemuk, dan idiom; frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, kaki Nasir yang maknanya secara sintaktik atau gramatikal sesuai dengan kata 'kaki' dan 'Nasir'. Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki meja yang masih dapat ditelusuri dari makna 'kaki' dan 'meja'. Idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki tangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 'kaki' dan 'tangan'.

 
1. Ejaan van Ophuijsen

Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.

  1. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
  2. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  3. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.


2. Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.

  1. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.


3. Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.

1. Perubahan Huruf

Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan

dj djalan, djauh j jalan, jauh

j pajung, laju y payung, layu

nj njonja, bunji ny nyonya, bunyi

sj isjarat, masjarakat sy isyarat, masyarakat

tj tjukup, tjutji c cukup, cuci

ch tarich, achir kh tarikh, akhir

2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f maaf, fakir

v valuta, universitas

z zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai

a : b = p : q

Sinar-X

4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.

di- (awalan) di (kata depan)

ditulis di kampus

dibakar di rumah

dilempar di jalan

dipikirkan di sini

ketua ke kampus

kekasih ke luar negeri

kehendak ke atas

5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

  anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Sumber: Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2007. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar

A.  Pengantar

Dalam penggunaan bahasa, keefektifan selain dapat dicapai melalui pemilihan kata yang tepat, dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian kata yang mubazir. Kata mubazir yang dimaksud di sini adalah kata yang kehadirannya tidak terlalu diperlukan, sehingga jika dihilangkan, tidak mengganggu informasi yang disampaikan. Oleh sebab itu, dalam penggunaan bahasa sebaiknya kita berlaku hemat. Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), “Yang dimaksud dengan kehematan adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu”.

B.  Jenis Kata Mubazir

Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), jenis kata-kata mubazir sebagai berikut.  

1.      Pengulangan Subjek

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.

Contoh:

a. Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.

b. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.  

b. Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.

   

2.      Pemakaian Superordinat Pada Hiponim Kata

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponim kata.

Contoh:

a. Ia memakai baju warna merah.

b. Di mana engkau menangkap burung pipit itu?

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Ia memakai baju merah.

b. Di mana engkau menangkap pipit itu?

3.      Kesinoniman dalam Satu Kalimat

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.

Contoh:

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar supaya terhindar dari penyakit.

b. Bank Sumitomo adalah merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

c. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti misalnya Jakarta dan Surabaya.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit.

b. Kita perlu menjaga kesehatan supaya terhindar dari penyakit.

c. Bank Sumitomo merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

d. Bank Sumitomo adalah salah satu bank terbesar di Jepang.

e. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti Jakarta dan Surabaya.

f. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, misalnya Jakarta dan Surabaya.

   

4.      Penjamakan Kata-Kata yang Berbentuk Jamak

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.

Contoh:

a. Para hadirin dipersilakan memasuki ruangan.  

b. Para tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Hadirin dipersilakan memasuki ruangan.

b. Tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Pendapat Arifin dan Tasai tersebut sejalan dengan Chaer (2011: 37) yang mengemukakan bahwa “Ada kata-kata yang kalau dihilangkan tidak akan mengganggu makna atau arti kalimat tersebut”. Kata-kata yang dapat dihilangkan, antara lain:

1. Kata-kata hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau jam.

Contoh:

a. Seminar itu akan berlangsung hingga hari Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap bulan Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Seminar itu akan berlangsung hingga Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

2. Kata dari dan daripada yang tidak perlu.

Contoh:

a. Pidato dari Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi daripada DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Pidato Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

3. Tidak menggunakan kata penanda jamak (seperti semua, banyak, beberapa, sekalian, dan para) bersama-sama sekaligus dengan bentuk ulang yang menyatakan jamak.

Contoh:  

a. Banyak pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Sebagian barang-barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.  

a. Pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Banyak pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

c. Sebagian barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

4. Menghilangkan kata hipernim (superordinat) dari kata yang menjadi hiponimnya (superordinatnya).

Contoh:

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan kendaraan truk.

b. Di pasar ibu membeli ikan tongkol dan buah mangga.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan truk.

b. Di pasar ibu membeli tongkol dan mangga.

 
Uum G. Karyanto 

 Incumbent = Petahana

Kata 'incumbent' sebenarnya bisa saja diganti dengan istilah 'penjabat' atau 'pejabat'. Namun, kata 'pejabat' terlanjur digunakan dengan arti 'pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting'. Sementara itu, 'penjabat' memiliki arti 'pemegang jabatan sementara'. 

Salomo Simanungkalit dari Harian Kompas mengusulkan kata 'petahana' sebagai padanan kata 'incumbent'. Setelah saya lihat, di dalam KBBI terdapat kata 'tahana' yang berarti 'kedudukan, martabat (kebesaran, kemuliaan, dsb) dan kata 'bertahana' yang berarti 'bersemayam; duduk'. Jika kita berpedoman pada pola pembentukan kata bahasa Indonesia, kata 'petahana' dapat diterima. Coba kita lihat analogi sebagai berikut.
tinju -- bertinju -- petinju
tatar -- bertatar -- petatar
Maka:
tahana -- bertahana -- petahana.

Dari segi arti juga bisa diterima. Kata ini dapat kita artikan 'yang sedang memegang jabatan'. Contoh pemakaiannya: Sebagai petahana, Foke tidak boleh berkampanye pada pilgub DKI Jakarta sebelum mengambil dan diizinkan cuti.

Bagaimana kalau ramai-ramai (bersama Pak Salomo) kita usulkan agar kata 'petahana' dimasukan ke dalam KBBI edisi berikutnya sebagai pengganti kata 'incumbent'.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
Yadhi Rusmiadi Jashar 
 Contek dan Menyontek

Orang sering menganggap bahwa bentuk dasar dari kata "menyontek" adalah "contek". Kita lalu mengenal kata "contekan". Benarkah anggapan tersebut? Ternyata kita keliru. Bentuk dasar kata "menyontek" adalah "sontek". Menurut KBBI, sontek/menyontek memiliki arti 1) melanggar, menolak, menyerang, menggocoh; 2) mengutip (tulisan dsb.) sebagaimana aslinya, menjiplak. Sontekan memiliki arti hasil menjiplak. Proses morfologi yang benar adalah meN- + sontek --> menyontek (fonem /s/ luluh). Jika mau dipaksakan bentuk dasar "menyontek" adalah "contek", seharusnya bentuk yang benar bukan "menyontek" tetapi "mencontek" karena fonem /c/ tidak luluh atau lesap.
 
*Kiki Zakiah Nur, S.S.

Dalam berbahasa, banyak yang sering melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut mungkin disadari, mungkin juga tidak. Akibat kesalahan tersebut, bahasa yang digunakan menjadi kacau. Kekacauan dalam berbahasa ini disebut dengan kontaminasi. Istilah lainnya adalah kerancuan. Kontaminasi atau kerancuan merupakan pencampuradukan dua bentuk bahasa yang masing-masing dapat berdiri sendiri, atau disatukan dalam satu bentukan baru yang tidak sepadan sehingga melahirkan bentukan baru yang kacau.

Contoh kekacauan bahasa pada kata berulangkali dan seringkali. Kedua kata itu sering ditemukan dalam berbahasa. Kata berulangkali sebenarnya berasal dari dua bentukan kata yang benar, yakni berulang-ulang dan berkali-kali. Akan tetapi, orang sering menggabungkan keduanya dan pada akhirnya menghasilkan bentukan baru yang kacau.

Kata seringkali berasal dari kata sering dan banyak kali atau kerap kali atau acap kali. Kata sering di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna banyak kali. Jika begitu, makna kata seringkali menjadi banyak kali-kali atau kerap kali-kali. Makna itu tentu kacau karena kata itu memang berasal dari bentukan yang kacau pula. Jadi, bentuk yang tepat untuk kata seringkali adalah kerap kali atau acap kali, atau dapat juga dikatakan sangat sering.

Kata lainnya yang juga sering digunakan secara kacau adalah mengenyampingkan. Untuk membuktikan bahwa kata itu salah dapat dijelaskan struktur katanya.
Kata mengenyampingkan merupakan bentukan dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yaitu me- + ke samping + -kan. Kemudian, unsur-unsur itu disatukan menjadi mengesampingkan. Hanya fonem /k/ pada awal kata ke samping yang luluh menjadi bunyi sengau /ng/, sedangkan bunyi /s/ pada kata samping tidak perlu diluluhkan. Sementara itu, ada juga bentuk menyampingkan yang berasal dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yakni me- + samping + -kan menjadi menyampingkan. Pada bentukan tersebut, fonem /s/ pada awal kata samping menjadi luluh menjadi bunyi sengau /ny/. Jadi, bentukan mengenyampingkan merupakan bentuk rancu dari bentuk menyampingkan dan mengesampingkan.

Ada ungkapan yang sebenarnya kacau. Akan tetapi, karena banyak orang yang tidak mengetahuinya, mereka sering menggunakannya dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Bentuk ungkapan itu adalah semakin hari, misalnya semakin hari semakin cantik saja gadis itu. Penjelasannya adalah bahwa kata semakin atau makin diikuti oleh kata sifat atau adjektiva, misalnya semakin baik, semakin lama, makin buruk. Kata semakin atau makin tidak diikuti oleh kata benda atau nomina. Jadi, tidak ada semakin tahun, semakin baju (Buku Praktis Bahasa Indonesia 1). Kata hari juga termasuk jenis kata benda atau nomina. Jadi, ungkapan semakin hari merupakan ungkapan yang kacau.

Sebenarnya kontaminasi atau kekacauan dalam berbahasa ini dapat dihindari asalkan orang tahu bagaimana bentuk yang benar dan tahu bagaimana bentuk yang salah.

*Tenaga Teknis Kantor Bahasa Provinsi Lampung 
 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar 
Dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Melayu dan Indonesia Modern

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas



Bahasa Sanskerta sudah ribuan tahun dikenal di Nusantara. Bukti tertua yang sekarang masih ada ialah prasasti-prasasti yang ada di Kutai, Kalimantan Timur dan kurang lebih berasal dari abad ke-4 atau abad ke-5 Masehi.

Karena keberadaan bahasa Sanskerta di Nusantara sudah lama, sudah tentu banyak kata-kata dari bahasa ini yang diserap dalam bahasa-bahasa setempat. Artikel ini membicarakan kata-kata serapan dalam bahasa Melayu tradisional dan dalam bahasa Indonesia modern.

Kosakata dasar

Karena sudah sangat lama dikenal di Nusantara, kata-kata Sanskerta ini seringkali sudah tidak dikenali lagi dan sudah masuk ke kosakata dasar. Oleh karena itu seseorang bisa menulis sebuah cerita pendek yang hanya menggunakan kata-kata Sanskerta saja. Di bawah ini disajikan sebuah cerita kecil terdiri dari kurang lebih 80 kata-kata dalam bahasa Indonesia yang ditulis hanya menggunakan kata-kata Sansekerta saja, kecuali beberapa partikel-partikel. Kata-kata Sanskerta di bawah dicetak tebal:

Karena semua dibiayai dana negara jutaan rupiah, sang mahaguru sastra bahasa Kawi dan mahasiswa-mahasiswinya, duta-duta negeri mitra, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata suami-istri, beserta karyawan-karyawati lembaga nirlaba segera berdharmawisata ke pedesaan di utara kota kabupaten Probolinggo antara candi-candi purba, berwahana keledai di kala senja dan bersama kepala desa menyaksikan para tani yang berjiwa bersahaja serta berbudi nirmala secara berbahagia berupacara, seraya merdu menyuarakan gita-gita mantra, yang merupakan sarana pujian mereka memuja nama suci Pertiwi, Dewi Bumi yang bersedia menganugerahi mereka karunia dan restu, meraksa dari bahaya, mala petaka dan bencana.

Jumlah kata-kata Sanskerta dalam bahasa Indonesia

Dalam bahasa Indonesia diperkirakan ada sekitar 800 kata-kata dari bahasa Sanskerta. Kata-kata ini ada yang diserap langsung dari bahasa aslinya, namun banyak pula yang diserap dari bahasa Jawa atau bahasa Jawa Kuna. Yang diserap dari bahasa Jawa sering dipakai sebagai pembentukan kata-kata baru dan disebut sebagai neologisme.

Meski kelihatannya hanya sedikit, namun kata-kata ini frekuensinya cukup tinggi dan banyak yang masuk ke kosakata dasar seperti telah dibicarakan di atas ini sehingga tampaknya banyak.

Penyesuaian fonologi

Fonologi bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu agak berbeda. Di dalam bahasa Sanskerta dikenal ada 7 vokal pendek dan 6 vokal panjang (secara teoretis ada 7 vokal panjang pula). Lalu ada 26 konsonan.

  • Vokal
  • Pendek:
  • /a/, /i/, /u/, /ṛ/, /ḷ/, /e/, dan /o/
  • Panjang:
  • /a:/, /I:/, /u:/, /ṛ:/, /ḷ:/, /ai/, dan /au/.
  • Konsonan
  • Letupan
  • /k/, /g/, /c/, /j/, /ṭ/, /ḍ/, /t/, /d/, /p/, /b/
  • Letupan yang disertai hembusan
  • /kh/, /gh/, /ch/, /jh/, /ṭh/, /ḍh/, /th/, /dh/, /ph/, /bh/
  • Sengau
  • /ng/, /ñ/, /ṇ/, /n/, /m/
  • Semivokal
  • /y/, /r/, /l/, /w/
  • Sibilan
  • /ś/, /ṣ/, /s/, /h/
  • Lain-lain
  • /ḥ/, /ṃ/
Dalam bahasa Melayu tidak ada permasalahan berarti dalam menyesuaikan vokal-vokal Sanskerta. Namun karena dalam bahasa Melayu tidak ada vokal panjang, maka semua vokal panjang berubah menjadi pendek.

Selain itu ada hal menarik dalam penyesuaian vokal /r/. Vokal ini sekarang di India dilafazkan sebagai /ri/ sementara zaman dahulu diperkirakan vokal ini dilafazkan sebagai /rə/ atau /'ər/, mirip seperti dalam bahasa Jawa. Inilah sebabnya mengapa nama bahasa Samskrta di Indonesia dilafazkan sebagai Sanskerta, tetapi di India sebagai Sanskrit. Dalam bahasa Melayu pada beberapa kasus vokal ini dilafazkan sebagai /ri/, namun pada kasus-kasus lainnya dilafazkan sebagai /'ər/. Selain itu kata-kata Sanskerta yang diserap dari bahasa Jawa seringkali juga memuat pelafazan /'ər/ atau /rə/.

Beberapa contoh:

  • Sebagai /ri/ -> “berita”, “berida”.
  • Sebagai /rə/ -> “bareksa”
  • Serapan dari bahasa Jawa /'ər/ -> “werda”
Kemudian perbendaharaan konsonan bahasa Melayu tidak sebanyak bahasa Sanskerta. Konsonan retrofleks tidak ada padanannya dalam bahasa Melayu sehingga disesuaikan menjadi konsonan dental. Lalu dari tiga sibilan dalam bahasa Melayu yang tersisa hanya satu sibilan saja, meski dalam huruf Jawi seringkali sibilan retrofleks atau palatal ini ditulis menggunakan huruf syin ش. Misalkan kata kesatria yang dalam bahasa Sanskerta dieja sebagai kṣatriya (kshatriya) dalam tulisan Jawi dieja sebagai کشتريا.

Lalu kasus menarik selanjutnya ialah penyesuaian konsonan yang disertai dengan aspirasi atau hembusan. Dalam bahasa Melayu seringkali hembusan ini juga dilestarikan. Sebagai contoh diambil kata-kata:

  • bhāṣa -> bahasa
  • chaya -> cahaya
  • phala -> pahala
Hal ini justru tidak dilestarikan dalam bahasa Nusantara lainnya, misalkan bahasa Jawa dan bahasa Bali. Di sisi lain nampaknya hal ini justru ada dalam bahasa Madura di mana aspirasi ini terlestarikan pula pada konsonan eksplosiva bersuara.

Kemudian semivokal /y/ dan /w/ pada posisi awal berubah menjadi /j/ dan /b/. Contohnya ialah kata-kata “jantera”, “bareksa”, “berita”, dan “bicara”.

Lalu anusvara /ṃ/ (/m./) dalam bahasa Melayu dilafazkan sebagai /ng/ atau sebagai sengau homorgan.

Daftar

Di bawah ini diberikan daftar kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Indonesia beserta ejaan asli dalam bahasa Sanskerta.

A

  • adi (ādi): utama, pertama
  • adicita (ādicitta)
  • adikara (adhikara)
  • adipati (ādipati): raja agung
  • adiraja (ādirāja): raja utama
  • Aditya (Āditya): (Dewa) Matahari
  • agama (āgama): din; tradisi suci
  • aji: mantra
  • aja: hanya
  • aksara (akṣara): huruf
  • aksi (akṣi): mata, sesuatu yang dilihat
  • alpa : teledor, kekurangan
  • amerta (amṛta): ambrosia, nektar, air kehidupan
  • ancala (acala): gunung
  • aneka : macam-macam
  • angka : bilangan
  • angkara : murka
  • angkasa (ākāśa): langit
  • angsa (haṃśa): sowang
  • angsoka (aśoka): sejenis pohon
  • aniaya (anyāya): siksa
  • anitya: ketidakkekalan
  • antara (antara): lain
  • antariksa (antarikṣa): luar angkasa
  • anugerah (anugraha): pemberian
  • arca (arcā): patung
  • ardi (ardi): gunung
  • Arya : bangsawan, orang India Utara
  • asa : jiwa (dalam frasa "putus asa")
  • asmara (smara): cinta
  • asrama (āśrama): tempat padepokan
  • asta (aṣṭa): delapan
  • astana (āsthāna): tempat pemakaman raja dan kerabatnya. Lihat pula istana.
  • Atharwaweda (atharvaveda): salah satu dari empat kitab Weda
  • atma (ātmā atau ātma): jiwa
  • atmaja (ātmaja atau ātmajā): anak
  • Awatara (avatāra): penjelmaan, penampakan Dewa di dunia.
B

  • baca (vaca): mengartikan tulisan
  • bada (vāda): bicara
  • bagai (bhāga): mirip
  • bagi (bhāgī):
    • bagian (bhāgya):
    • bahagian (bhāgya):
  • bahagia (bhāgya) : sukacita
  • bahasa (bhāṣa): logat
  • bahaya (bhaya): sesuatu yang mengancam
  • bahna (bhāna): karena
  • bahtera (vahitra): kapal
  • bahu (bāhu): lengan
  • bahureksa (bāhurakṣa): hiasan tangan
  • baiduri (vaidūrya): opal
  • bakti (bhakti): hormat, loyal
  • bala (bala): tentara
  • banaspati (vanaspati): pohon besar
  • bangsa (vaṃśa): rakyat
  • bangsawan
  • bangsi (vaṃśi): peluit
  • bareksa (vṛkṣa): pohon
  • basmi (dari frasa bhasmī bhūta): musnah
  • Batara (bhaṭāra): Dewa
  • Batari (bhaṭārī): Dewi
  • bausastra (bahuśāstra): kamus
  • baya (vayas): usia
  • bayangkara (bhayaṃkara): penjaga
  • bayu (vāyu): angin
  • bea (vyaya): ongkos
    • biaya (vyaya)
  • beda (bheda): diferensi
    • beza
  • bedama
  • begawan (bhagavān): orang suci
  • bejana (bhājana): tempat menampung
  • belantara (vanāntara): hutan
  • bencana (vāñcana): malapetaka
  • benda (bhāṇḍa): obyek
  • bendahara (bhāṇḍāgāra): penjaga uang
  • berhala (bhaṭāra): bentuk Tuhan
  • berhana
  • berita (vṛtta):
  • biara (vihāra): tempat kaum rohaniawan
    • biarawan
    • biarawati
  • bicara (vicāra): omong
  • bidadari (vidyādharī): makhluk sorgawi
  • biji (bijā): isi buah
  • biksu (bhikṣu): seorang rohaniawan Buddha
    • biksuni
  • binasa (vināśa): hancur
  • birahi (virahin): ingin bercinta
  • bisa (1) (viṣa): racun
  • bisa (2) (viṣa): boleh
  • brahma (brāhma)
  • brahmana
    • brahmani
  • brahmi
  • brata (brata): tapa
  • buana (bhuvana): dunia
  • budaya (buddhaya): berhubungan dengan akal, adab
  • Buddha (buddha): seseorang yang telah sadar
  • budi (buddhi): akal
  • bujangga (bhujaṅga): ilmuwan. Lihat pula pujangga
  • bukti (bhukti):
  • bulu roma
  • bumantara (byomāntara): langit
  • bumi (bhūmi): planet ketiga dalam tatasurya, tanah
  • bumiputera (bhūmiputra): pribumi
  • bupala (bhūpāla): raja
  • bupati (bhūpati): raja
  • busana (bhūṣaṇa): pakaian bagus
  • buta (bhūta): raksasa
  • butala (bhūtala): bumi
  • butayadnya (bhūtayajña): persembahan atau kurban kepada buta
C

  • cabai (cavi): lombok
  • cahaya (chāya): sinar
  • cakrabuana (cakrabhūvana):
  • cakra (cakra): roda
    • cakram (cakram): diskus
  • cakrawala (cakravāla): ufuk, horison
  • candala (caṇḍāla): orang buangan; dari kasta terendah; paria
    • cendala
  • candi (caṇḍi): gedung peninggalan Hindu-Buddha kuna
  • candra (candra): bulan (satelit bumi)
  • candramawa
  • candrasa
  • candrasengkala
  • cara (ācāra): kelakuan
  • caraka (caraka): duta
  • catur (1) : sebuah permainan papan
    • caturangga
    • syatranji
  • catur (2): empat
  • cedera (chidra): luka
  • cela (chala): cacat
  • celaka (chalaka): musibah
  • cempaka (campaka): nama sebuah bunga (Michelia Champaka)
  • cendana (candana): nama sebuah tumbuhan
  • cendekia
    • cendekiawan
  • cendera
  • cendrawasih (candra + vāsi): nama burung di Papua
  • cengkerama (caṅkrama): bersantai
  • cerita (carita): kisah
    • ceritera (caritra): kisah
  • cerna
  • cinta (cintā): kasih
  • cintamani
  • cita (citta): pikiran
    • cipta : inovasi
  • citra (citra): gambar
  • cuci (śuci): membersihkan
  • cuka (cukra): bahan pengasam
  • cula (cūlā atau cūḍā): tanduk
  • curiga (churikā): mendakwa
  • contdro (condro): bulan
D

  • dadih : air susu sapi, kerbau, dsb. yang pekat yang kental
  • dahaga : haus, perlawanan terhadap pemerintah
  • daksina : selatan
  • dana : uang
  • dasa (daśa): sepuluh
  • dasawarsa (daśawarṣa): dekade, sepuluh tahun
  • delima : tumbuhan Punica Granatum
  • denda (daṇḍa): hukuman
    • dendam (daṇḍa mungkin dari bahasa Tamil): rasa ingin membalas sesuatu yang dialami
  • derita (dhṛta): kesengsaraan
  • desa (deśa): daerah non-urban; daerah administratif terkecil
  • Dewa : Tuhan
    • Dewata : sifat kedewaan
    • Dewi : dewa perempuan
    • Dewayadnya (dewayajña): persembahan atau kurban kepada para Dewata dalam agama Hindu
  • dewadaru : kenikir
  • dewangga : kain yang bergambar indah
  • dewasa : akil balig
  • dharma (dharma): kewajiban dan sebagainya
    • darma : kewajiban
    • derma : sumbangan
  • dirgantara (digantara): langit
  • dirgahayu (dīrghāyuṣa): panjang umur
  • dosa (doṣa): kesalahan
  • duli : kehormatan terhadap raja
  • dupa : kemenyan yang apabila dibakar berbau harum
  • dusta : tidak benar
  • duta (dūta): wakil, caraka
  • dwi : dua
E

  • eka : satu
    • ekabahasa (eka + bhāṣā): monolingual
    • ekamatra
    • ekasila
  • embara (digambara): berkelana
  • erti (artha): arti, makna
G

  • gada
  • gaharu
  • gajah (gaja): suatu hewan besar
  • gala
  • galuh
  • ganda
    • gandapura
    • gandaria
    • gandarusa
    • gandasturi
    • gandasuli
  • gandarwa
  • gandewa (gaṇḍīva): busur, terutama busur sang Arjuna
  • gandola
  • gandi
  • Gangga (gaṅgā): sungai di India dan personifikasinya sebagai Dewi Gangga
  • gangsa
  • gapura
  • garba
  • Garuda (garuḍa): burung mitologis, wahana Dewa Wisnu
  • gatra baris
  • gaya
  • gembala
  • genta
  • gergaji
  • gergasi
  • gerhana
  • giri (giri): gunung
  • gita tembang
  • goni
  • graha (gṛha): rumah, gedung
    • griya: di Bali rumah keluarga brahmana
  • grahita
  • gua
  • gula : pemanis
  • gulana (glāna): rasa gundah
  • gulma
  • guna (guṇa): manfaat
    • gunawan (guṇa + sufiks vant)
  • gurindam pantun yang terdiri dari dua baris,baris pertama sampiran dan baris kedua isi
  • guru (guru): pengajar
  • gustituhan
H

  • harsa (harṣa): sukacita
  • harta (artha): uang, kekayaan material
  • hasta : tangan
  • hatta (ātha): syahdan, maka (kata penghubung)
  • hima : kabut (harafiah salju)
  • Himalaya (himâlaya): nama pegunungan di India, secara harafiah artinya "tempat salju"
  • hina : rendah
I

  • idam
  • indera
    • indria
  • inggu
  • intisari
  • irama (virama): ritma
  • istana (āsthāna): tempat tinggal raja. Lihat astana
  • istimewa (āstām eva): khusus
  • istri (strī): mitra pernikahan wanita
J

  • jaga (jagarti tapi dalam bahasa Prakerta jaga): bangun
  • jagat (jagat): dunia
  • jagat raya (dari jagattraya: "tiga dunia"): alam semesta
  • jaksa (adhyakṣa): sang penuntut dalam mahkamah pengadilan
  • jala (jala): jaring untuk menangkap ikan
  • jambu (jambu): semacam pohon dan buahnya
  • japa (japa): mantra
    • jampi (japa)
  • jana: manusia
  • janda (raṇḍa): seorang wanita yang tidak memiliki suami
  • jantera (yantra): alat yang berputar, roda
  • jasa (yaśa): perbuatan terpuji
  • jati (jāti): sejenis pohon
  • jatmika (adhyātmika): hormat
  • jaya : menang
  • jebad
  • jeladri
  • jelata (janatā): rakyat
  • jelita (lalita): cantik
  • jelma (janma): orang
  • jempana (jampana): pelangkin
  • jenggala (jaṅgala): gurun
  • jenitri (gaṇitrikā): sejenis pohon dan buahnya (elaecorpus ganitrus)
  • jiwa (jīva): roh
  • juita (jīvita): manis
  • jumantara (vyomāntara): langit
  • juta (ayuta): 1.000.000
  • jutawan : sangat kaya
K

  • kabupaten (dari kata bhūpati): wilayah pemerintahan seorang bupati
  • kakawin (dari kata kāvya): sebuah sajak dalam metrum India
  • kala (kāla): waktu
  • kalpataru (kalpataru): pohon kehidupan, pohon kelimpahan
  • kama (kāma): cinta
  • Kamajaya (Kāmajaya): nama lain Dewa Smara atau Dewa Cinta
  • kanji
  • kapas (karpāsa): sejenis bahan
  • karena (kāraṇa): sebab
  • karma (karma): hasil
  • karna (karṇa): telinga
  • karunia (kāruṇya): anugerah
  • karya (karya): buatan
  • kata (katha): satuan kalimat
  • kawi (kāvya): penyair
  • kecapi (kacchapī): alat musik petik
  • keling (Kaliṅga): India bagian selatan
  • keluarga (kulavarga): famili
  • kemala
  • kendala
  • kendi (kuṇḍi atau kuṇḍikā): bejana air
  • kenya (kanyā): gadis
  • kepala (kapāla): bagian tubuh yang teratas
  • keranda
  • kerja (karya): sesuatu yang diperbuat
  • kesatria (kṣatriya): lihat ksatria
  • kesturi (kastūrikā): jebat, musang
  • kesumba
  • ketika
  • kirana (kiraṇa): sinar
  • kokila : sejenis burung
  • kota (kuṭa): benteng, wilayah urban
  • koti (koṭi): 100.000
  • krama : cara, aturan
  • kresnapaksa (kṛṣṇapakṣa): paruh gelap bulan
  • krida (krīḍā): tindakan terpuji
  • ksatria (kṣatriya): kasta kedua, bangsawan, seorang laskar
  • kuasa (dari kata waśa):
  • kulasentana (kulasantāna): suku
  • kulawangsa (kulavaṃśa): klan
  • kunarpa : mayat, bangkai
  • kunci (kuñcikā): menutup
  • kunta
  • kusa
  • kusta
  • kusuma (kuṣuma): bunga
L

  • laba (labha): untung
  • lagu (laghu): nyanyian
  • laksa (lakṣa): 10.000
  • laksana (lakṣaṇa)
  • lengkara
  • lingga (liŋga)
  • logam
  • loka
  • lokakarya
  • lokananta
  • lokapala
  • lintas
M

  • madia (madya): tengah
    • madya
  • madu (madhu): cairan manis produk lebah
    • madukara
  • maha (mahā): besar
  • Maharaja (mahārāja): Kaisar
  • mahkota
  • makara
  • mala
  • malapetaka
  • manah
  • mandala
  • mangsa
  • mangsi
  • manik
  • manikam
  • mantra
  • mantri
  • manusayadnya
  • manusia
  • mara
  • marabahaya
  • marga
  • margasatwa
  • masa
  • materai
  • matra
  • maya :Semu
  • mayapada :bumi
  • mega (megha): awan
  • melati
  • menteri
  • mercapada
  • merdeka :kebebasan
    • mahardika
  • merdu
  • merica
  • merpati
  • mesra
  • mesti
  • mestika
  • mina : ikan
  • mintuna
  • mitra :Teman,rekan
  • moksa (mokṣa): kelepasan dari sengsara
  • muda (mūḍha): tidak tua
  • muka
  • mula
  • mustika
  • mutiara
N

  • nada
  • naga
  • nama (nāma): sebutan atau panggilan
  • nara
  • narapati
  • narapidana
  • nata
  • nawa (sembilan)
  • negara
  • negeri
  • neraca
  • neraka (naraka):
  • netra (netra): mata
  • nila
  • nirmala
  • nirwana (nirvana): stadium kelepasan jiwa
  • niscaya
  • niskala
  • nista
O

  • ojah
P

  • pada
  • padma
    • padmi
    • padam
    • patma
    • fatma
  • pahala
  • paksa
  • paksi (pakṣi): burung
    • peksi
  • paksina
  • pala
  • panca (pañca): lima
  • pancaka
  • pancasila (1) (pañcaśīla): lima kaidah falsafah Buddhis
  • Pancasila (2) (pañcaśīla): ideologi negara Indonesia
  • Pancatantra (pañcatantra): sebuah karya sastra dari India Kuna
  • pandai
  • pandita
  • panitia
  • papa
  • para
  • parameswara
  • parameswari
  • parisada
  • parwa
  • pasca (paścat): setelah
  • pataka
  • patera
  • patih
  • pawaka: api
  • pawana
  • payudara (payodhara): buah dada wanita
  • pedanda
  • pedati
  • pekerti
  • pendapa
  • pendeta
  • penjara
  • perada
  • perbawa
  • percaya
  • perdana
  • peribahasa
  • peristiwa
  • perkara
  • permaisuri
  • permata
  • persada
  • pertama
  • pertiwi
  • perwara
  • petaka
  • pidana
  • pitayadnya
  • prabu
  • prahara
  • prakarsa
  • prakarya
  • prakata
  • prameswari
  • pramugara
  • pramugari
  • pramuria:wanita nakal
  • pramuwisata:pemandu wisata
  • pranala (praṇāla): pautan atau tautan di internet
  • pranata
  • prasangka
  • prasarana
  • prasasti
  • prasetya
  • prawacana
  • pria
  • pribumi:penduduk asli
  • puasa
  • puja
  • pujangga :penyair
  • puji
  • punggawaprajurit
  • pura
  • purba
    • purbakala
  • puri
  • purnama
  • purwa
    • purwarupa: prototipe
  • pusaka
  • puspa
  • puspadanta
  • puspita
  • pustaka
  • putra
  • putri
R

  • raga
  • rahasia
  • raja
  • rajaberana
  • rajah
  • rajalela
  • rajawali
  • raksa
  • raksasa
  • raksasi
  • ramai
  • rasa
  • rasa
  • rasi
  • rata
  • ratna
  • reca
  • rela
  • remaja
  • rencana
  • renjana
  • resi
  • restu
  • Rgweda: kitab suci umat Hindu
  • rona
  • rupa
  • Rupiah (rūpya): mata uang Indonesia
S

  • sabda (sabda): kata, firman
  • sad (ṣaḍ): enam
  • sadaya
  • sahaja (sahaja): sederhana
  • sahaya (sahāya): hamba
  • saka
  • sakala
  • saksi (sakṣi)
  • sakti (śakti): kekuatan supranatural
  • sama
  • samapta
  • samsara (saṃsāra): lahir kembali di dunia, lihat pula sengsara
  • samudra (samudra): laut besar
  • sandi
  • sandiwara
  • sanggama (saṃgama): hubungan seksual
  • sanggamara
  • sangka
  • sangka
  • sangkala
  • sangsi
  • Sansekerta (saṃskṛta): bahasa yang sempurna
    • Sanskerta
    • Sangskerta
    • Sanskrit
  • santri (śāstri): seorang pelajar agama Islam, biasa tinggal di sebuah asrama
    • pesantren
  • santi
  • santika
  • sapta (tujuh)
  • saptadarma
  • saptamarga
  • sarana
  • sari
  • sari
  • saripati
  • sarira
  • sarjana (sajjana): seorang akademikus
  • sasakala
  • sasian
  • sastra
  • satria
  • satru
  • satwa
  • satyalancana
  • satyawacana
  • saudara
  • sayembara (svayambara): kontes
  • seba
  • sederhana (sārdhāna): simpel
  • sedia
  • sediakala
  • sedianya
  • segala
  • segara
  • sejahtera
  • selesma
  • selira
  • seloka (śloka): larik puisi
  • semadi
  • semboyan
  • sementara
  • sempurna
  • semua
  • senantiasa
  • senapati
  • sendawa
  • sendi (sandhi): penghubung
  • sengketa
  • sengsara (saṃsāra): keadaan derita. Lihat pula samsara
  • senjata (sajjita): alat perang
  • sentosa
  • serati
  • seraya
  • serba
  • seribumi
  • serigala
  • sesira
  • setanggi
  • seteru (śatru): musuh
  • setia (satya): loyal
  • siksa
  • sila (śīla): asas
  • singa (siṃha): semacam kucing raksasa
  • singgasana (siṃhâsana): takhta
  • sisa
  • siswa (siṣya): murid
  • sorga (svarga)
  • sri
  • sridanta
  • srikaya
  • stupa
  • su- (su): baik
  • suami
  • suara (svara): bunyi
  • suasana
  • suci (śuci): keramat
  • sudah (suddha): telah
  • sudamala
  • sudara
  • sudi
  • sudra
  • suka
  • sukarela
  • suklapaksa
  • sukma
  • sula
  • sunyata
  • sunyi
  • suralaya
  • surya
  • suryakanta
  • susila
  • sutra
  • sutradara
  • swa-
    • swakarsa
    • swakarya
    • swapraja
    • swasembada
    • swatantra
  • swasta
T

  • tabik
    • tabe
  • tabil
  • tala
  • tani
  • tantra
  • taru
  • taruna
  • tata
    • tata acara
    • tata surya
    • tata bahasa
    • tata busana
    • tata cara
    • tata guna
    • tata krama
    • tata laksana
    • tata nama
    • tata negara
  • tega (tyaga): tidak perduli
  • teja
  • telaga
  • tembaga
  • tentara
  • tepaslira
  • terka
  • tetapi
  • tirta (tirta): air
  • tri (tri): tiga
  • trimatra
  • trimurti
  • trisna
  • trisula (trisula): Tiga ujung. Senjata (semacam tombak) dengan tiga mata yang tajam.
  • triwikrama
  • tuna : Kehilangan (tadinya memiliki menjadi tidak) / tidak memiliki.
    • tunanetra - buta
    • tunarungu - tuli
    • tunawicara - bisu
    • tunadaksa - tidak memiliki tangan dan/atau kaki
    • tunalaras - kelainan perilaku
    • tunagrahita - kelainan mental
    • tunawisma - tidak memiliki rumah
    • tunakarya - pengangguran Tidak memiliki pekerjaan.
    • tunaaksara - buta huruf
    • tunasusila - tindakan amoral
U

  • udara (udara): zat di atmosfer bumi
  • umpama: lihat upama
  • unta (uṣṭra): sejenis hewan yang hidup di gurun pasir
  • upacara
  • upaduta
  • upah
  • upama: contoh
  • upaya (upāya): daya, siasat
  • upeti (utpatti): sesuatu yang harus diberikan kepada pembesar, semacam pajak
  • urna
  • usaha (utsaha)
  • usia (yuṣa): umur
  • utama (uttama): paling unggul
  • utara (uttara): mata angin yang arahnya sebelah kiri terbitnya matahari
V

  • vihara (vihāra): rumah ibadah kaum Buddhis
W

  • wacana (vacana)
  • wahana (vāhana): medium, kendaraan
  • waisak
  • waisya
  • walimana (vimāna): burung mitis
  • waluh
  • -wan (-vant): sebuah imbuhan sufiks yang menyatakan pelaku pria
    • -wati (-vatī): sebuah imbuhan sufiks yang menyatakan pelaku wanita
  • wana: hutan
  • wanara (vaṇara): kera
  • wangsa (vaṃśa): dinasti
  • wanita : perempuan (terhormat)
  • waranggana
  • warga : kaum
  • warna (varṇa): kelir
  • warsa (varṣa): tahun
  • warta (vṛtta): berita
    • warta berita
    • wartawan : jurnalis
  • waruna
  • waspada
  • wati
  • weda : kitab suci
  • wedana
  • werda
  • wesak
  • wibawa
  • wibawa
  • wicara
  • widara
  • widya : pengetahuan, ilmu atau pembelajaran
  • widyakarya
  • widyawisata
  • wihara
  • wijaya
  • wiku
  • wimana
  • windu
  • wira
  • wiracarita : epos
  • wirama
  • wiraswasta
  • wirawan
  • wisata
    • wisatawan
  • wisaya
  • wisma : rumah
  • wisuda
  • wiwaha (vivāha): pernikahan besar
  • wiyaga : burung
  • wiyatabhakti
  • wredatama
Y

  • Yajurweda (yajurveda): salah satu dari kitab Catur Weda
  • yantra (yantra): alat. Lihat pula jentera
  • yayasan (berdasarkan yaśa): lembaga. Lihat pula jasa.
  • yoga (yoga): bentuk tapa-samadi
  • yogi (yogin): seseorang yang beryoga
  • yoni (yoni): rahim, vagina, alas lingga
  • yogya (yogya): sesuai tatakrama
  • yojana (yojana): ukuran, jarak kurang lebih 15 kilometer
  • yuda (yuddha): perang
Angka

  1. eka
  2. dwi, dwaya
  3. tri, traya
  4. catur
  5. panca
  6. sad
  7. sapta
  8. ashta
  9. nawa
  10. dsa
  11. ekadasa
  12. dwadasa/dwidasa
  13. trayodasa
  14. caturdasa
  15. pancadasa
  16. sodasa
  17. saptadasa
  18. asthadasa (contoh: Astadasaparwa)
  19. nawadasa
  20. wingsati
  21. ekawingsati
  22. dwawingsati
  23. trayowingsati
  • 30. trinisat
  • 32. dwitrinisat
  • 33. tritrinisat
  • 34. cattrinisat
  • 40. catwaringsat
  • 50. pancasat
  • 60. sasti
  • 70. saptati
  • 80. asiti
  • 90. nawati
  • 100. sata
  • 102. dwisata
  • 200. dwisatani
  • 202. dwidwisatani
  • 913. trayodasa nawasatani
  • 1.000. sahasra, sasra, saharsa
  • 5.000. pancasahasrani
  • 7.423. trayowingsati catursatani saptasahasrani
  • 10.000. laksa
  • 100.000. kethi
  • 1.000.000. yuta
  • 100.000.000. arwuda
Referensi

  • (Inggris) Jan Gonda, 1952, Sanskrit in Indonesia, New Delhi: International Academy of Indian Culture.
  • (Inggris) Johannes Gijsbertus de Casparis, 1997, Sanskrit loan-words in Indonesian: An annotated check-list of words from Sanskrit in Indonesian and Traditional Malay, Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
  • (Indonesia) Professor Dr. Mukunda Madhava Sharma M.A., Ph. D., D. Litt., Kavyatirtha, 1985,Unsur-Unsur Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
  • (Inggris) Sir Monier Monier-Williams, 1899, A Sanskrit - English Dictionary. Oxford
  • (Indonesia) Edi Sedyawati, Ellya Iswati, Kusparyati Boedhijono, dan Dyah Widjajanti D., 1994,Kosakata Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Melayu Masa Kini. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • (Indonesia) P.J. Zoetmulder, 1995, Kamus Jawa Kuna - Indonesia, Jakarta: Gramedia
  • (Indonesia) Sutanto, 1989, Dwidasa = 12Intisari Mei 1989, Jakarta: Yayasan Intisari
  • (Inggris) Jan Gonda, 1952, Sanskrit in Indonesia, New Delhi: International Academy of Indian Culture.
  • (Inggris) Johannes Gijsbertus de Casparis, 1997, Sanskrit loan-words in Indonesian: An annotated check-list of words from Sanskrit in Indonesian and Traditional Malay, Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
  • (Indonesia) Professor Dr. Mukunda Madhava Sharma M.A., Ph.D., D. Litt., Kavyatirtha, 1985,Unsur-Unsur Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Indonesia. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
  • (Indonesia) Edi Sedyawati, Ellya Iswati, Kusparyati Boedhijono, dan Dyah Widjajanti D., 1994,Kosakata Bahasa Sanskerta dalam Bahasa Melayu Masa Kini. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber: http://wwwlastmanstanding.blogspot.com/2011/10/dari-bahasa-sanskerta-ke-bahasa-melayu.html